Selasa, 01 November 2016

Third girl
Nama : M.Shidqii Albany
Hercule Poirot sedang duduk menghadapi sarapannya.Tangan kanannya memegang secangkir coklat panas. Memang ia paling suka rasa yang manis-manis. Dan sebagai teman
minuman coklat-nya, dipilihnya roti yang manis. Kombinasi yang serasi dengan minumannya. Ia mengangguk-angguk dengan puas. Roti ini dibelinya dari toko roti keempat yang sudah dicobanya, toko roti Denmark. Tetapi rasanya benar benar lebih enak daripada buatan toko yang mengaku sebagai toko roti Prancis, yang letaknya tidak jauh dari rumahnya.
Roti-roti dari toko roti Prancis ini tidak lebih hanyalah tiruan yang tidak memadai.
Kini selera makannya telah dipuaskan. Perutnya merasa nyaman. Pikirannya pun merasa  nyaman, bahkan boleh jadi agak terlalu nyaman. Ia telah menyelesaikan karya besarnya, yaitu suatu analisa mengenai penulis-penulis cerita detektif yang terkenal. Ia sudah berani mengritik Edgar Allan Poe dengan tajam, dan mengeluh mengenai cara penuturan romantis Wilkic Collins yang kurang teratur, dan memberikan pujian setinggi langit kepada dua orang penulis berkebangsaan Amerika yang sama sekali belum dikenal orang, dan dengan berbagai cara lain memuji siapa yang patut dipuji atau sebaliknya dengan tegas tidak memberikan pujian di mana dianggapnya tidak layak. Ia telah melihat tulisannya ini di penerbitnya, meneliti hasilnya, dan kecuali merasa heran dengan banyaknya salah cetak yang ada, secara keseluruhan ia cukup puas dengan hasilnya. Ia merasa bangga dengan karya sastranya ini, dan ia juga telah menikmati waktu yang dipergunakannya untuk membaca buku-buku untuk melahirkan tulisannya ini, dan juga ia menikmati saat-saat ketika ia mendengus dengan muak dan mencampakkan suatu buku ke lantai (meskipun ia selalu ingat untuk bangkit dari kursinya dan memungut buku itu untuk dimasukkan ke dalam keranjang sampah), dan ia pun menikmati saat-saat ia menganggukkan kepalanya dengan puas pada kesempatan-kesempatan yang langka ia menjumpai tulisan-tulisan yang dianggapnya bagus
Dan kini? Ia telah melewati masa istirahat yang santai, yang amat diperlukannya setelah otaknya bekerja keras.Tetapi orang tidak bisa beristirahat terus, orang harus
melangkah ke pekerjaan berikutnya. Sayang sekali, dia tidak tahu apa yang harus dikerjakan berikutnya. Menulis karya sastra yang lain lagi? Tidak, pikirnya. Kerjakanlah satu hal
dengan baik, lalu tinggalkan. Itulah semboyannya. Terus terang saja, sebetulnya ia merasa jemu. Semua aktivitas mental yang melelahkan yang sudah dinikmatinya — terlalu
banyak. Ini menimbulkan kebiasaan yang buruk padanya, membuatnya resah.
Menjengkelkan! Digelengkan kepalanya dan diteguknya
lagi coklatnya.
Pintu terbuka dan masuklah pelayannya yang terlatih,
George. Sikapnya penuh hormat dan agak segan. Ia terbatuk dan menggumam, "Seorang ..." dia berhenti “seorang ... putri belia ingin bertemu."
Poirot memandangnya dengan perasaan heran dan jengkel.
Hal : 7-8

Nama : Sheila Nurul
"Saya tidak menerima tamu pada jam-jam begini," katanya
dengan nada menegur.
"Ya, Pak," George mengiyakan.
Majikan dan pelayan saling bertukar pandang. Terkadang komunikasi antara mereka penuh kesulitan. Dengan perubahan suara, sentilan, dan kata-kata tertentu, George akan memberikan pertanda bahwa jika dia diberi pertanyaan yang tepat, maka ia dapat memberikan jawaban yang berarti. Dalam hal ini Poirot berpikir, pertanyaan apakah yang tepat untuk diajukannya.
"Cantikkah dia — putri belia ini?" tanyanya
hati-hati.
"Menurut saya — tidak, Pak, tetapi selera itu bukan ukuran."
Poirot mempertimbangkan jawaban ini. Dia teringat bahwa George sempat tersendat sebentar sebelum memakai istilah putri belia. George adalah seorang yang amat peka terhadap derajat sosial. Jadi dia tidak yakin akan status tamu ini, namun dia telah bermurah hati dalam keraguannya.
"Kau berpendapat bahwa ia adalah seorang putri belia dan
bukan, katakanlah, seorang gadis belia?"
"Saya pikir begitu, Pak, meskipun dewasa ini sulit untuk
membedakannya," kata George dengan penyesalan yang tidak dibuat-buat.
"Apakah dia memberikan alasan mengapa dia ingin menemui saya?"
"Katanya..." George mengulangi kata-kata tersebut dengan
agak berat dan permintaan maaf sebelumnya, "bahwa dia ingin berkonsultasi dengan Bapak mengenai suatu pembunuhan yang mungkin telah dia lakukan."
Hercule Poirot mendelik. Alisnya naik. "Mungkin telah dilakukan? Lha apa dia tidak tahu?"
"Itulah kata-katanya, Pak."
"Tidak memuaskan, tetapi barangkali menarik," kata Poirot.
“Mungkin — suatu lelucon, Pak," kata George ragu-ragu.
"Apa pun mungkin, saya kira," Poirot mengakui, "tetapi kita tidak berpikir ..." Dia mengangkat cangkirnya. "Bawalah dia masuk lima menit lagi."
"Ya, Pak." George mengundurkan diri.
Poirot menghabiskan tegukan terakhir coklatnya.
Disingkirkannya cangkirnya lalu dia bangkit. Dia berjalan ketempat perapian dan menata kumisnya dengan hati-hati didepan kaca yang berada di atas tempat perapian. Dengan
perasaan puas ia kembali ke kursinya dan menunggu kedatangan tamunya. Ia tidak dapat menduga apa yang bakal dihadapinya....
Dalam hatinya ia mengharapkan sesuatu yang barangkali mendekati bayangannya mengenai daya tarik seorang wanita.Pepatah yang umum "si cantik dalam kesedihan" terlintas dibenaknya. Tetapi dia menjadi kecewa ketika George kembali mengantarkan tamu tersebut; di dalam hatinya ia menggelengkan kepalanya dan menarik napas panjang. Ini
bukanlah si cantik—dan juga tidak ada tanda-tanda kesedihan yang tampak. Agak bingung, mungkin merupakan tebakan yang lebih tepat dikatakan begitu.
Hal : 9-10
Nama : Nadia Elsa
"Bah!" pikir Poirot jengkel. "Gadis-gadis ini! Mengapa mereka tidak berusaha berbuat sesuatu untuk diri mereka sendiri? Dengan tata rias yang baik, pakaian yang menarik, rambut yang ditata oleh seorang ahli rambut, barangkali gadis ini bisa lulus. Tetapi, coba lihat dia sekarang!"
Tamunya adalah seorang gadis yang berusia sekitar dua puluhan. Rambutnya panjang sampai   ke bahu, tergerai tidak rapi dan tidak menentu warnanya. Matanya yang besar dan
berwarna biru kehijauan, hampa ekspresi. Dia mengenakan apa yang barangkali merupakan pakaian pilihan generasinya sepatu bot kulit hitam bertumit tinggi, kaos kaki putih dari
wol yang diragukan kebersihannya, rok yang pendek dan sebuah kaos wol yang panjang dan longgar. Siapa saja yang segenerasi dan sebaya Poirot akan mempunyai satu keinginan
yang sama, yaitu menceburkan gadis ini kc dalam bak mandi secepat mungkin. Poirot sering mengalami perasaan demikian jika sedang berjalan-jalan. Ratusan gadis dengan penampilan
yang sama. Mereka semuanya tampak kotor. Namun di pihak lain — di sinilah terletak kontradiksinya — yang satu ini tampaknya seperti telah tercebur di sungai dan baru diangkatkeluar. Gadis-gadis begini, pikirnya, barangkali tidak benar benar kotor. Hanya saja mereka berusaha keras supaya kelihatannya demikian.
Poirot bangkit dengan sopan sebagaimana biasanya,
menjabat tangan gadis itu dan menarikkan sebuah kursi.
"Anda mendesak untuk bertemu dengan saya, Nona? Duduklah, saya persilakan."
"Oh," kata gadis itu dengan suara yang kecil. Dia menatap Poirot.
"Eh, bagaimana?" kata Poirot.
Gadis ini ragu-ragu. "Saya pikir, saya— lebih baik berdiri."
Matanya yang besar masih menatap dengan ragu-ragu.
"Sesuka hati Andalah." Poirot kembali duduk dan memandangnya. Dia menunggu. Gadis ini menggeser kakinya.Dia menunduk melihat kakinya, kemudian menengadah lagi
kepada Poirot.
"Anda — Anda adalah Hercule Poirot?"
"Tentu saja. Dalam hal apa dapat saya bantu Anda?"
"Oh, yah, agak sulit. Maksud saya...."
Poirot merasa barangkali gadis ini membutuhkan sedikit
dorongan. Katanya memberi jalan, "Pelayan saya mengatakan
bahwa Anda ingin berkonsultasi dengan saya karena Anda
mengira Anda 'mungkin telah melakukan suatu pembunuhan'.
Betulkah itu?"
"Saya tidak tahu bagaimana harus saya utarakan itu.Maksud saya...."
"Marilah," kata Poirot ramah. "Duduklah. Kendorkan otototot.
Ceritakanlah kepada saya."
"Saya pikir tidak — aduh, saya tidak tahu bagaimana —
Anda lihat, semuanya begitu sukar. Saya telah — saya telah mengubah pikiran saya. Saya tidak mau bersikap kurang sopan, tetapi — ah, saya pikir, lebih baik saya pulang."
"Ayolah. Yang tabah."
Hal :11-12
Nama : Diah Pitaloka
"Tidak, saya tidak bisa. Saya pikir tadinya saya bisa kemaridan... dan bertanya kepada Anda, bertanya apakah yang harus saya perbuat  tetapi saya tidak dapat, Anda mengerti?
Semuanya begitu lain dari...
"Dari apa?"
"Saya minta maaf dan saya betul-betul tidak ingin bersikap tidak sopan, tetapi...."
Gadis ini menarik napas panjang, memandang Poirot, mengalihkan pandangannya, dan tiba-tiba terluncurlah dari bibirnya, "Anda terlalu tua. Tidak ada yang memberi tahu saya
bahwa Anda sudah begitu tua. Saya betul-betul tidak mau bersikap tidak sopan, tetapi itulah. Anda terlalu tua.”Maafkan saya."
Dia segera membalikkan tubuhnya dan keluar dari ruangan
itu dengan terhuyung-huyung seperti seekor serangga yang
nekat mencari sinar lampu.
Poirot, dengan mulut menganga, mendengar pintu depan
dibanting.
Katanya, "Ya ampun, ya ampun, ya ampun...."
Telepon berdering.
Hercule Poirot tampaknya seolah-olah tidak mendengar.Deringnya tajam dan mendesak.
George masuk menghampirinya, sambil memandang Poirot dengan keheranan.
Poirot memberikan isyarat dengan tangannya. "Biarkan saja,"
katanya. George menurut dan keluar lagi. Telepon masih berdering. Suaranya yang tinggi dan melengking terus mengganggu. Tiba-tiba deringnya berhenti. Namun setelah satu dua menit, mulai berdering kembali.
"Ah, astaga! Ini tentunya seorang wanita — pasti seorang wanita."
Dia menarik napas, bangkit dari duduknya dan menghampiri pesawatnya.
Diangkatnya tangkai telepon. "Halo," katanya.
 "Apakah Anda — di sana Tuan Poirot?" *
"Saya sendiri."
"Ini Nyonya Oliver— suara Anda kedengarannya lain. Semula tidak saya kenal."
"Selamat pagi, Nyonya — Anda baik-baik saja, saya harap?"
"Oh, saya baik." Suara Ariadne Oliver terdengar riang
seperti biasanya. Pengarang cerita detektif yang terkenal ini adalah teman Hercule Poirot.
"Sebetulnya masih agak pagi untuk menelepon Anda, tetapi saya ingin minta tolong."
"Ya?"

Hal : 13-14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar